— — — — —
Sinopsis
Pada abad 19 di Lagos de Moreno, kota di mana ada lebih banyak sapi dari pada manusia dan ada lebih banyak pendeta dari pada sapi, sebuah keluarga agak miskin mencoba melewati mara bahaya yang ajaib dari pilihan hidup di Mexico. Sang ayah, guru PKN pencinta sejarah romawi, bersikeras mempraktikkan seni menghina, sementara sang ibu menyiapkan ratusan quesadillas untuk banyak keturunan mereka: Aristotle, Orestes, Archilochus, Callimachus, Electra, Castor dan Pollux.
Terkurung dalam rumah pada masa-masa genting, mereka menyaksikan pemberontakan Cristores melawan PRI dan kecurangan pemilu untuk ke sekian kali. di sini, titik mula petualangan Orestes dan perang suci tolol melawan kebosanan desa dan tirani abangnya.
Semua pas dan semua berjalan dengan menaruh rasa hormat pada setiap omong kosong: sapi yang diinseminasi, banteng berekor, imigran polandia, peziarah dari San Juan, pesawat luar angkasa, tombol kecil ajaib, semangka psikedelik, dan bajingan-bajingan lain.
Pengantar Edisi Terjemahan Berbahasa inggris
Untuk menghormati novel yang dibuka dengan kalimat, “Pergi sana dan tidur saja dengan ibumu yang keparat itu, kau bangsat! Pergi kau, Jahanam!”, Kita mungkin bisa memulainya dengan deklarasi oleh Theodor Adorno, “Adalah bagian dari standar moral untuk merasa asing dalam rumah sendiri.” Frasa ‘merasa asing’ ini telah — dan akan terus — diuraikan dengan banyak cara. Juan Pablo Villalobos sendiri, dalam kedua novelnya: Pesta Di Sarang Kelinci dan Quesadillas, menguraikan frasa tersebut lewat jalan kemarahan.
Pada novel pertama, Pesta di Sarang Kelinci, Villalobos menjerumuskan diri pada kerumitan teknis narator anak-anak untuk menampung rasa marah tersebut. Membiarkannya hanya dapat diraba dalam bayang-bayang cerita tentang kesenjengan antara kepolosan dan pengetahuan. Di Quesadillas, narator telah tumbuh dewasa — Orestes berusia 38 tahun, meski buku ini diceritakan dengan perspektif dirinya saat berusia 13 — dan pagar batasan yang diciptakan oleh gaya cerita telah roboh. Hasilnya, kericuhan euforis. Tapi dengan euforia yang dihasilkan dari kerelaan untuk terluka, dari keinginan untuk mengamuk, sebuah euforia atas kehancuran dan kegilaan. Targetnya? Meksiko; rumah.
Harus diakui, Villalobos tidak lagi tinggal di Meksiko, tapi satu dari sekian definisi dari rumah adalah titik di mana semua bermula; kita akan kembali ke sana juga pada akhirnya.
Quesadillas kebanyakan berlatar di Lagos de Moreno, di Los Altos, Jalisco. “Sebuah daerah yang, untuk menambah rasa hina pada luka, berlokasi di Mexico.” Orestes, karakter protagonis dan satu dari tujuh bersaudara(semuanya diberi nama oleh ayah mereka yang guru sekolah mengikuti karakter di literatur klasik Yunani), adalah anak tangguh dan bersinar hanya karena satu keinginan saja: hasrat untuk melarikan diri. Untuk lari dari keluarga dan hari-hari 80 jari berebut Quesadillas dengan jumlah terbatas yang dimasak oleh ibunya. Untuk lari dari Aristotle, abang paling tua dan tokoh antagonist utama. Untuk lari dari, yang paling penting, daerah terpencil Jalisco dan Meksiko kontemporer yang tidak ada gunanya. Senada dengan narasi tersebut, rumah mereka berada di bukit fiksional yang diberi nama cerro de la chingada, yang secara metaforik bisa diartikan sebagai ‘ketiak — atau ujung pantat — semesta’. Dan novel ini ditutup dengan latar waktu menjelang pemilu 1988, yang akan membawa Carlos Salinas dari PRI ke kursi kuasa dengan bahan bakar korupsi masif. Ilustrasi tambahan, jika memang dibutuhkan, buat mengukuhkan Meksiko sebagai ‘negara yang selamanya dikelola oleh para penipu.’
Namun pelarian dalam bentuk apapun tampak macam kutukan dalam novel tentang pengasingan-yang-tidak-pernah-terjadi ini. Malah, Villalobos memilih untuk bermain-main dengan humor gelap mengenai kemustahilan untuk melarikan diri dan tema soal kembali, pulang ke rumah dan kondisi — kebanyakan sosio-ekonomi dan sebagian politik — yang membuat pelarian Orestes terlihat mendesak. Dia tanpa sadar selalu hidup dengan sifat miskin keluarganya yang menyesakkan dan merendahkan. Di mana ruang-ruang dalam kepala selalu diisi oleh pikiran mengenai posisi keluarganya pada pemisahan golongan antara miskin dan kelas menengah.
Porsi paling besar dari semangat kemarahan komikal dalam novel ini, diberikan Villalobos pada Orestes — hiperbolik, fasih, angkuh, cerdas, spontan, pedas, bahkan tampak ‘keren’. Keputusasaan digambarkan dengan wajah yang sangat menyenangkan. Tapi permukaan ini hampir tidak mampu menutupi gejolak subversif di bawahnya, seakan Villalobos merobek halaman demi halaman buku pegangan realisme sosial.
Anggota paling muda dari keluarga mereka, si kembar Castor dan Pollux, menghilang di toko swalayan. Namun novel enggan berlama-lama pada penjelasan mengenai apa yang terjadi sebenarnya, atau apa akibat dari kejadian ini. Memang, sepertinya tidak banyak yang dapat dibicarakan. Hanya saja, alih-alih cemas, Orestes malah lega karena kini jumlah jari-jari yang berebut quesadillas berkurang.
Cerita berkembang dari satu kejadian absurd ke kejadian absurd lainnya, sebagaimana juga narasi politik negara. Prinsip kapitalisme yang amoral datang dalam wujud orang Polandia kaya raya, Jaroslaw, yang membangun rumah besar di tepi bukit dan pindah ke sana bersama istri serta anaknya.
Sebuah kejahatan kecil terjadi. Kemudian, Aristotle dan Orestes melarikan diri ke bukit Mesa Redonda, di mana si abang meyakinkan adiknya, bahwa alien telah menculik si kembar.
Dari titik ini, plot menjadi sangat anarkis dan semakin absurd dalam penghancuran terhadap realitas yang logis. Aristotle menghilang. Ada penangkapan. Episode menggemparkan di mana Orestes sebagai murid Jaroslaw berjalan begitu cepat. Benar-benar letup kegilaan yang terkendali. Fantasi? Sihir? Realisme magis(frasa menakutkan buat telinga banyak orang)? Mungkin buku ini akan memberikan banyak kejutan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang terkurung dalam nina bobo yang dirasuki oleh realisme.
Judul novel ini dalam bahasa spanyol, si vivieramos en un lugar normal (Andai kita hidup di suatu tempat yang normal), membawa banyak sekali nuansa. Termasuk resonansi metaforis yang bergema terus sepanjang cerita.
Judul ini juga kembali pada kita lewat jalan tidak biasa sejak awal; tidak bisa karena kita mendengar pria tiga-puluh-delapan-tahun tiba-tiba berkata: “Pada akhirnya, karena alasan apapun, seseorang pasti kembali pulang. Atau tidak pernah benar-benar pergi. Dan segala hanya berakhir untuk melawan ingatan, atau malah, bahasa.” Keniscayaan untuk pergi telah menjadi kewajiban moral buat mengkritik rumah sendiri. Novel ini adalah 200 halaman kemarahan yang dilebur dalam komedi edgy; ada teriakan yang bersembunyi di tiap-tiap tawa. Coba dengarkan.
Neel Mukherjee London, Maret 2013
— — —
Penerjemah: Ariel Kutajeng
RakBuku, 2022